GANDRUNG, WARISAN AGUNG BLAMBANGAN.
(Kalau tak baca sampai habis, tak kan bisa bangga sbg bagian dari Blambangan)
Saya sempat mendapatkan pelajaran dari seorang teman " jika ingin menyanggah sebuah tulisan atau artikel maka balaslah dengan tulisan yg juga relevan" atau memang bliau itu tidak ngerti ilmunya.
Dalam ilmu seni dan budaya, bahwa seni tari dibedakan menjadi tiga berdasarkan fungsinya yaitu, 1. Sebagai peranan upacara agama dan upacara adat, seperti contoh : tari rejang renteng di bali dan tari getak di kalimantan.
2. Sebagai hiburan atau pergaulan, seperti tari tayub dan tari maengket.
3. Sebagai sarana media pertunjukan dan edukasi.
Dalam ilmu seni dan budaya, bahwa seni tari dibedakan menjadi tiga berdasarkan fungsinya yaitu, 1. Sebagai peranan upacara agama dan upacara adat, seperti contoh : tari rejang renteng di bali dan tari getak di kalimantan.
2. Sebagai hiburan atau pergaulan, seperti tari tayub dan tari maengket.
3. Sebagai sarana media pertunjukan dan edukasi.
Dalam perjalanannya tari "GANDRUNG" tak luput dari tiga fungsi tsb, tari gandrung sebagai sarana upacara agama dan adat. Sejak zaman kerajaan Blambangan yg notabene adalah sebuah kerajaan yang agung dan jaya, masyarakatnya yang banyak mengenal dewa dewi mereka adalah penyembah Syiwa, Wisnu dan Kapitayan sudah menggunakan tari Gandrung sebagai sarana upacara rasa syukur mereka kepada Dewi Sri sebagai dewi kesuburan yang telah memberikan dan menjadikan padi mereka menjadi bagus dan panen melimpah, maka dari itulah ditarikanlah tari gandrung ini di areal persawahan dengan membawa berbagai sesaji untuk dihaturkan kepada Dewa dewi yang bersemayam di jagad Swarga loka, maka tari gandrung inilah yang disebut " Gandrung Seblangan ". Dan hingga saat ini di banjar Munang-maning, Denpasar Bali tari Gandrung masih di sakralkan di Pura Merajan Majapahit yang berlinggih di Dalem Blambangan sebagai sarana upacara keagamaan. Berbeda dengan tari Seblang baik dari Olihsari maupun Bakungan yang merupakan tarian adat sebagai sarana pembersihan desa atau ruwatan agar semacam balak dan keburukan desa baik dari dalam atau yang akan masuk desa dapat musnah, meski memang tak dipungkiri bahwa gerakan dari kedua tarian ini hampir sama dan hal inilah yang membuat anggapan bahwa tari Gandrung adalah turunan dari tari Seblang.
Kedua, tari Gandrung sebagai tarian hiburan dan pergaulan.
Diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu dalam Suluk Balumbung, sedikit tentang tari-tarian yang dilakukan para lelaki untuk mengumpulkan orang-orang desa, guna diajak ke Bayu sebagai penggalangan masa persiapan Perang Bayu 1771. Tari-tarian itulah yang kemudian menjadi Kesenian gandrung Banyuwangi. Cerita yang sekilas itu klop jika dibandingkan dengan catatan Belanda yang ditulis oleh Joh Scholte dalam Gandroeng Van Banjoewangi 1926, berikut:
“Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong.”
Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang).
Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh rakyat Blambangan sisa-sisa perang Wilis 1767-1768 saat kompeni merebut Blambangan.
Jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau dibuang oleh Kompeni tak terkira jumlahnya. Mayat yang bergelimpangan dimana-mana sampai membuat para pedagang antar pulau tidak mau berlabuh di Blambangan karena mayat-mayat itu menjadi penyebar penyakit Kolera.
Sisanya yang hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua. Dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain.
Saat itulah, Mas Rempeg mengijinkan upaya aneh yang dilakukan para lelaki dengan berdandan seperti wanita untuk menari keliling desa-desa guna mengumpulkan sisa-sisa lelaki yang masih hidup, agar mau ikut bergabung ke Bayu.
Di desa-desa, setelah usai pertunjukan gandrung, para lelaki itu menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi dan sebagainya. Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada para pengungsi lainnya di Bayu.
Usaha itu berhasil dan tidak menimbulkan kecurigaan kompeni dan rakyat berbondong-bondong ke Bayu. Bahkan dari Teluk Pampang dan Sentong sampai habis penduduknya ikut ke Bayu. C. Lekerkerker dalam Blambangan Indische Gids II, mengatakan bahwa saat itu Asisten Residen, Hendrick Schophoff segera membujuk rakyat agar tidak pergi ke Bayu, namun usaha itu sia-sia. Justeru semakin banyak rakyat yang berbondong-bondong ke Bayu.
Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian Gandrung ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan bersama Mas Rempeg ikut angkat senjata melawan penjajahan Kompeni. Dan diperkirakan nama Marsan muncul sebagai salah satu laskar Blambangan yang ikut dalam perang dan penyamaran, maka Marsan bukanlah seorang "gundik" seperti yang diasumsikan oleh sebagian orang. Peranan Marsan kemudian tergeser oleh peran seorang wanita deles yang hingga sampai saat ini peran gandrung lumrah dimainkan oleh seorang wanita, serta fungsi tari gandrung pun berubah dari sebagai siasat perang menjadi media hiburan dan pergaulan yang kemudian sering ditanggap orang hajatan dengan menggunakan terop maka gandrungpun menjadi "Gandrung terop"
Diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu dalam Suluk Balumbung, sedikit tentang tari-tarian yang dilakukan para lelaki untuk mengumpulkan orang-orang desa, guna diajak ke Bayu sebagai penggalangan masa persiapan Perang Bayu 1771. Tari-tarian itulah yang kemudian menjadi Kesenian gandrung Banyuwangi. Cerita yang sekilas itu klop jika dibandingkan dengan catatan Belanda yang ditulis oleh Joh Scholte dalam Gandroeng Van Banjoewangi 1926, berikut:
“Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong.”
Apa yang ditulis oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan secara turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana (terbang).
Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh rakyat Blambangan sisa-sisa perang Wilis 1767-1768 saat kompeni merebut Blambangan.
Jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri, tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau dibuang oleh Kompeni tak terkira jumlahnya. Mayat yang bergelimpangan dimana-mana sampai membuat para pedagang antar pulau tidak mau berlabuh di Blambangan karena mayat-mayat itu menjadi penyebar penyakit Kolera.
Sisanya yang hidup terlantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan, terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang tua. Dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke negeri lain.
Saat itulah, Mas Rempeg mengijinkan upaya aneh yang dilakukan para lelaki dengan berdandan seperti wanita untuk menari keliling desa-desa guna mengumpulkan sisa-sisa lelaki yang masih hidup, agar mau ikut bergabung ke Bayu.
Di desa-desa, setelah usai pertunjukan gandrung, para lelaki itu menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu berupa beras atau hasil bumi dan sebagainya. Dan sebenarnya yang tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan yang nantinya dibagi-bagikan kepada para pengungsi lainnya di Bayu.
Usaha itu berhasil dan tidak menimbulkan kecurigaan kompeni dan rakyat berbondong-bondong ke Bayu. Bahkan dari Teluk Pampang dan Sentong sampai habis penduduknya ikut ke Bayu. C. Lekerkerker dalam Blambangan Indische Gids II, mengatakan bahwa saat itu Asisten Residen, Hendrick Schophoff segera membujuk rakyat agar tidak pergi ke Bayu, namun usaha itu sia-sia. Justeru semakin banyak rakyat yang berbondong-bondong ke Bayu.
Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa tujuan kelahiran kesenian Gandrung ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan bersama Mas Rempeg ikut angkat senjata melawan penjajahan Kompeni. Dan diperkirakan nama Marsan muncul sebagai salah satu laskar Blambangan yang ikut dalam perang dan penyamaran, maka Marsan bukanlah seorang "gundik" seperti yang diasumsikan oleh sebagian orang. Peranan Marsan kemudian tergeser oleh peran seorang wanita deles yang hingga sampai saat ini peran gandrung lumrah dimainkan oleh seorang wanita, serta fungsi tari gandrung pun berubah dari sebagai siasat perang menjadi media hiburan dan pergaulan yang kemudian sering ditanggap orang hajatan dengan menggunakan terop maka gandrungpun menjadi "Gandrung terop"
Ketiga, sebagai media pertunjukan dan edukasi. Tari gandrung selain sebagai icon pariwisata Banyuwangi juga harus dìkenalkan kepada generasi penerus agar tidak hilang melalui edukasi, hal itu membuat seniman asal desa Gladag bapak Sumitro Hadi atau akrab dipanggil mbah Mitrok menggubah gandrung pada bagian Jejer sebagai kreasi, meski demikian mbah Mitrok tetap memegang teguh pakem gerak tari pada tarian Gandrung yang aselai
Inilah yang disebut "Gandrung kreasi"
Inilah yang disebut "Gandrung kreasi"
Sumber Bacaan:
~tulisan mas Sunya Nora Yuganing Wong
~ Suluk Blambangan
~ Samsubur. 2011. Sejarah Kerajaan Blambangan
~ C. Lekerkerker. 1923. Blambangan Indische Gids II
~ Joh Scholte. 1926. Gandroeng Van Banyuwangi
~ Makalah Hari Jadi Banyuwangi.
~SumitroH.2009.Seniman Banyuwangi.
~tulisan mas Sunya Nora Yuganing Wong
~ Suluk Blambangan
~ Samsubur. 2011. Sejarah Kerajaan Blambangan
~ C. Lekerkerker. 1923. Blambangan Indische Gids II
~ Joh Scholte. 1926. Gandroeng Van Banyuwangi
~ Makalah Hari Jadi Banyuwangi.
~SumitroH.2009.Seniman Banyuwangi.
Publisher : Bandar Uyah
sangat menambah wawasan tentang sejarah ,, nice info
ReplyDeletesip.. makasih sudah berkunjung gan.
ReplyDeleteMas ada yang tau tidak mengenai kesenian sakral di banyuwangi yang bernama sanyang mangir di desa mangir yang sudah punah 1927 , apakah ada sisa2 bukti kesenian tersebut???
ReplyDelete