Gandrung Semi,Penari Gandrung Perempuan Pertama Yang Tercatat dalam Sejarah di Banyuwangi
Kata gandrung berarti “kedanan, tergila-kila, bahasa. Jawa :kesengsem”. Dalam konteks kehidupan sehari-hari gandrung berarti seni tari dan seni musik serta seni olah vokal. Dikatakan demikian karena satu grup gandrung yang penggandrungnya berjumlah 2 sampai 4 orang (di awal lahirnya hanya satu orang penari sekaligus penyanyi) harus bisa menari atau berjoget dan menyanyi.
Gandrung lanang yang pertama di Banyuwangi adalah Druning. Laki-laki itu melakukan kegiatan seni dengan menggunakan alat musik berupa terbang dan kendang. Druning melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah pedalaman di bekas kerajaan Blambangan itu dengan mengabarkan bahwa perjuangan melawan hegemoni Kompeni Belanda telah usai, supaya para pejuang kembali kepada keluarga mereka. Upah dari kegiatan menggandrung berupa buah-buahan dan beras yang dibawa dengan menggunakan kantong kain (Hasnan Singodimayan, 2003: 6).
Seiring dengan masuknya ajaran Islam, penari Gandrung laki-laki (Gandrung Lanang) mulai berkurang sejak tahun 1894 dan lenyap di tahun 1914. Lelaki terakhir yang tercatat sebagai penari Gandrung bernama Marsan.
Kehadiran Semi (gandrung perempuan pertama di Banyuwangi), yang mulai tertarik dengan dunia seni gandrung pada belakangan akan menggantikan peran Druning sebagai penggiat seni gendrung. Setelah menginjak usia baligh, Semi sering diajak ayah dan ibunya menonton gandrung Druning. Druning yang mampu mempertahankan profesinya sebagai gandrung lanang hingga usia 40 tahun rupanya memberikan spirit kepada Semi untuk menerjuni dunia seni gandrung di Blambangan. Para tetangganya meminta gadis cantik itu dengan celotehannya “Lho kok lemah gemulai dan pintar serta pantes dari pada gandrung yang lanang, teruslah jadi gandrung Semi!”,pinta semua tetangga. Setelah diterima masyarakat luas, Semi pun mencurahkan sebagian besar perhatiannya kepada gandrung Banyuwangi.
Adapun sebuah kesenian bisa disebut (menjadi) gandrung bila memenuhi persyaratan sebagai berikut.
memenuhi alat musik berupa kendang, dua kenong, dua baola, gong, dan sebuah triangel atau itik ining;
Seorang pemukul kendang, seorang penabuh kenong, dua orang penggesek biola, seorang penabuh gong, dan seorang pemain triangel yang sekaligus sebagai pengudang;
Ada dua, tiga atau empat penari yang sekaligus penyanyi gandrung (untuk saat sekarang), jika dulu cukup seorang saja;
Grup itu harus memahami pakem (aturan baku) berupa Jejer, Paju, dan Seblang-seblang;
Seorang gandrung harus memakai kostum berupa mahkota (Omprog), gelang-gelang, kilat bahu yang ditaburi monte, penutup dada atau ilat-ilat, sebuah kain dan sepasang selendang, sebuah sampur, dan sebuah sintir;
Harus masih gadis atau perawan;
Harus mampu menari dan menyanyi, karena pekerjaan gandrung disebut sebagai monoplay (bermain apa saja tetapi seorang diri);
Seorang pemukul kendang, seorang penabuh kenong, dua orang penggesek biola, seorang penabuh gong, dan seorang pemain triangel yang sekaligus sebagai pengudang;
Ada dua, tiga atau empat penari yang sekaligus penyanyi gandrung (untuk saat sekarang), jika dulu cukup seorang saja;
Grup itu harus memahami pakem (aturan baku) berupa Jejer, Paju, dan Seblang-seblang;
Seorang gandrung harus memakai kostum berupa mahkota (Omprog), gelang-gelang, kilat bahu yang ditaburi monte, penutup dada atau ilat-ilat, sebuah kain dan sepasang selendang, sebuah sampur, dan sebuah sintir;
Harus masih gadis atau perawan;
Harus mampu menari dan menyanyi, karena pekerjaan gandrung disebut sebagai monoplay (bermain apa saja tetapi seorang diri);
Perjalanan Panjang Seorang Perempuan Semi.
Semi lahir dan besar dari keluarga petani utun di Cungking. Sebagai warga desa yang kental dengan budaya agrarisnya, ia sangat hati-hati bergaul dengan masyarakat luas. Mengingat masa lalu orang tuanya yang pendatang atau migran dari barat, ia pun berusaha menempatkan dirinya agar diterima sebagai keluarga besar kabupaten Blambangan. Budaya andhap asor, yang dipegang dengan kuat oleh Semi menjadikan dirinya dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai anak desa yang beretika tinggi dan berpikiran maju.
Silsilah Gandrung Semi
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak merata di hampir seluruh wilayah Jawa, membuat rakyat makin memutar-mutar pola pikir mereka. Sebagai tuan rumah di pulau Jawa yang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, thukul kang sarwo tinandur, murah kang sarwa tinuku, tata tentrem kerta raharja tidak hanya menjanjikan hidup yang layak kepada penduduk asli pribumi, akan tetapi juga kepada non pribumi yang dalam hal ini kolonial Belanda.
Politik etis yang digembar-gemborkan di jaman Van den Bosc, ternyata berujung hanya di batas teori saja. Para pribumi dari Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah merasa tidak puas dan meyakini bahwa diri mereka dikibuli oleh kulit kuning. Mereka yang tidak puas banyak mencari sendiri tanah-tanah baru yang luas di sebelah timur. Istilah ini mereka sebut dengan ungkapan “Golek negara sing ombo”. Migran penduduk ke wilayah Jawa bagian timur telah membuat sejarah baru di pulau Jawa (Sartono Kartodirdjo,1993: 352).
Perubahan ekonomi politik Belanda terhadap masalah tanah dan ternaga yang terjadi dalam kurun waktu 1850-1900 di Jawa sangat menjadikan rakyat amat sengsara. Bahkan di Jawa Tengah ada pertautan antara wajib kerja dengan hak menguasai tanah, sedangkan di Jawa Timur, Madura, dan Jawa Barat lebih dihubungkan dengan masalah keluarga atau cacah jiwa. Karena itu selanjutnya yang marak terjadi adalah pertentangan dan kesengsaraan rakyat di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat. Kebijakan Gubernur Jendral Van der Capellen pun amat merugikan kehidupan rakyat (1993: 337).
Ketika jalan Kereta Api dibangun di Jawa pada abad XIX, dianggap oleh pemerintah kolonial sebagai kebutuhan yang amat mendesak. Sarana ini amat diperlukan karena jalan tol darat amat lambat, pintu pelabuhan pun memakan waktu berbulan-bulan untuk mengirim barang ekspor ke Eropa, maka jalur Semarang – Yogyakarta di bangun pada tahun 1863, Trayek menuju Solo pada tahun 1870, dan trayek menuju Yogya pada tahun 1873 (1993: 364). Jasa transportasi inilah yang kiranya digunakan oleh para migran dari barat termasuk Raminah (ibu kandung Semi) menuju perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Diantara migran dari barat itu adalah Raminah yang meninggalkan Semarang sejak akhir abad XVIII. Semarang ditinggalkannya bukan karena kena banjir “Semarang kaline banjir”, bukan dan bukan. Akan tetapi karena memang mencari kemakmuran di balik kesengsaraan pada jaman penjajahan Belanda, maka Raminah mencoba merantau menjadi migran ke wilayah Blambangan sebelah timur. Banyak bukti yang memperkuat keberadaan ini, bahwa para penduduk Jawa Kulonan yang kini menempati Banyuwangi bagian selatan ternyata merupakan migran dari Barat pada jaman Belanda.
Sebelumnya Raminah dan sebagian besar tetangga di kampung halamannya banyak mendapat kabar, bahwa di tanah brang wetan masih menyimpan kekayaan yang luas berupa belantara. Untuk mengobati kesengsaraan hidup yang berkepanjangan, sampailah ia di sebuah tempat yang belakangan bernama Rogojampi. Di tempat ini ia bertemu dengan perantau laki-laki lajang bernama Midin yang asli Ponorogo – Jawa Timur. Dari pertemuan yang biasa itu lama-lama menjadi luar biasa, karena ternyata Midin tertarik untuk menikahi Raminah dengan segala kelebihan dan kekurangannya pada tahun 1883. Belakangan keluarga baru ini pindah ke sebuah desa yang subur bernama Cungking. Mereka mencoba mengalahkan tantangan alam dengan membentuk lahan persawahan baru, sebagaimana yang telah pernah dilakukan para migran pendahulunya di wilayah Blambangan sebelah selatan. Dengan modal yang tekun, ulet, disiplin, gemi, nestiti, dan ati-ati, Midin mengayuh bahtera rumah tangganya di bumi Blambangan di masa pemerintahan Bupati Raden Ario Soegondo..
Perkawinan Midin dengan Raminah, melahirkan keturunan sebanyak 8 orang. Kedelapan orang tersebut adalah :
1. Midah (perempuan) lahir tahun 1884
2. Semi (perempuan) lahir tahun 1885
3. Kulbahari (laki-laki) lahir tahun 1887
4. Suyati (perempuan) lahir tahun 1889
5. Kalidjo (laki-laki) lahir tahun 1890
6. Misti (perempuan) lahir tahun 1891
7. Mustadjab (laki-laki) lahir tahun 1893
8. Miyati (perempuan) lahir tahun 1895
2. Semi (perempuan) lahir tahun 1885
3. Kulbahari (laki-laki) lahir tahun 1887
4. Suyati (perempuan) lahir tahun 1889
5. Kalidjo (laki-laki) lahir tahun 1890
6. Misti (perempuan) lahir tahun 1891
7. Mustadjab (laki-laki) lahir tahun 1893
8. Miyati (perempuan) lahir tahun 1895
Dari delapan keturunan Raminah yang belakangan menjadi gandrung adalah Semi (anak nomor 2), Suyati (anak nomor 4), dan Misti (anak nomor 6). Midah, anak pertama Raminah menikah dengan Sudjanto melahirkan Supran, Sunasih, Sutini, dan Sutinah (gandrung). Semi (anak kedua Raminah) dinikahi Sutomo mempunyai keturunan Sutrani, Suwoto, Sutiyah, Sunar, Sumo, Sudiyo, Ngadiyo, Djumhar, Djuri, Supatiyah, Supadeni, Suwati, Suwanah (Gandrung), dan Suwari. Kulbahari (anak ketiga Raminah) menikah dengan perempuan bernama Sumi melahirkan Usman dan Djumi’ah. Suyati yang sudah jadi gandrung menikah dengan Osen melahirkan Sujadi dan Sundari (gandrung). Kalidjo (anak kelima Raminah) menikahi perempuan bernama Sutinah, melahirkan Mislan, Misadi, dan Timbul. Misti (anak keenam Raminah) menikah lima kali dengan (Achmad, Asyik, Sahlan, Malah, kemudian Sidik) tidak mempunyai keturunan satu pun. Mustadjab putra Raminah ketujuh juga menikah sampai dua kali (dengan Andon, kemudian Sumani) juga tidak mempunyai keturunan. Sedangkan putri bungsu dari Midin dan Raminah yaitu Miyati dalam perkawinannya dengan Sosro Sudirman mempunyai satu keturunan bernama Sulastri. Midin meninggal di Cungking dan dimakamkan di pemakaman umum Cungking, sedangkan Raminah wafat di Cawang – Rogojampi dan dimakamkan di Cawang.
Semi menikah dengan Sutomo pada tahun 1894. Dari pernikahan ini melahirkan 14 putra dan putri yaitu
1. Sutrani (putri, lahir tahun 1895);
2. Suwoto (lahir tahun 1897);
3. Sutiyah (lahir tahun 1898);
4. Sunar (lahir tahun 1901);
5. Sumo (lahir tahun 1902);
6. Sudiyo (lahir tahun 1903);
7. Ngadiyo (lahir tahun 1905);
8. Djumhar (lahir tahun 1907);
9. Djuri (lahir tahun 1909);
10. Supatiyah (lahir tahun 1910);
11. Supadeni (lahir tahun 1911);
12. Suwati (lahir tahun 1913);
13. Suwanah (lahir tahun 1914); dan
14. Suwari (lahir tahun 1915) meninggal pada usia 7 tahun.
2. Suwoto (lahir tahun 1897);
3. Sutiyah (lahir tahun 1898);
4. Sunar (lahir tahun 1901);
5. Sumo (lahir tahun 1902);
6. Sudiyo (lahir tahun 1903);
7. Ngadiyo (lahir tahun 1905);
8. Djumhar (lahir tahun 1907);
9. Djuri (lahir tahun 1909);
10. Supatiyah (lahir tahun 1910);
11. Supadeni (lahir tahun 1911);
12. Suwati (lahir tahun 1913);
13. Suwanah (lahir tahun 1914); dan
14. Suwari (lahir tahun 1915) meninggal pada usia 7 tahun.
Dari empat belas anaknya, hanya satu yang menjadi gandrung yaitu Suwanah (anak ke-13 yang merupakan ragil urip). Pada saat itu di Blambangan dipegang oleh bupati Soerengrono (sumber: dokumen tertulis Pak Sumarto, cucu Mbah Semi dari anak laki-laki kandungnya bernama Djumhar dengan istri kedua).
Peran Orang Tua
Pasangan serasi Midin dengan Raminah kebetulan menyukai dunia seni, walaupun ia sendiri sebenarnya bukan seniman. Tidak bisa memainkan salah satu pun alat musik, apalagi menyanyi. Namun pasangan petani desa tersebut memang suka mendengarkan musik apa saja, termasuk kesenian Seblang waktu itu.
Pasangan serasi Midin dengan Raminah kebetulan menyukai dunia seni, walaupun ia sendiri sebenarnya bukan seniman. Tidak bisa memainkan salah satu pun alat musik, apalagi menyanyi. Namun pasangan petani desa tersebut memang suka mendengarkan musik apa saja, termasuk kesenian Seblang waktu itu.
Di persawahan sebelah utara makam Buyut Martoredjo, atau di jalan Brawijaya sekarang, Semi dan teman-teman sekampungnya sering melampiaskan waktu luangnya dengan manari di hamparan sawah. Pada saat musim kemarau panjang, sawah yang mengering menjadi stereotif pentas tari. Tetatangganya banyak menilai, dari sekian banyak teman-teman putrinya, Semi dianggap yang paling trampil memainkan gerak tangan dan olah tubuh lainnya.
Masyarakat tidak menyia-nyiakan keberadaan Semi. Mereka sepakat, bahwa Semi harus segera dikukuhkan sebagai penari pemula di kampung Cungking saat ini juga. Kebetulan Semi amat siap dengan permintaan masyarakat luas. Semi juga mahir menyanyikan gending-gending Seblang yang acapkali ditampilkan tiap tanggal 10 di bulan Besar atau bulan Haji setahun sekali.
Sebagai petani utun, Midin mengerti bagaimana harus berperan sebagai orang tua. Dari delapan anaknya (lima putri dan tiga putra), hanya Semi, Suyati, dan Mistilah yang berhasil menjadi gandrung. Namun demikian nama Semi justru makin meroket setelah sering berlatih menari dan menyanyi gandrung. Ia makin lama makin digemari masyarakat luas, sehingga di berbagai tempat sering dikunjungi untuk pergelaran seni gandrung. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Semi telah menjadi selebritis pada jamannya.
Alat musik yang ada waktu itu adalah baola (biola), triangle (itik ining), gendang, dan gong. Sedangkan jika mentas malam hari, maka alat penerangan yang digunakan adalah lampu minyak yang dibuat dari bilah bambu (oncor) yang ditata berkeliling melingkar di arena gelas seni Gandrung.
Proses Kreatif
Semi muda makin menjadi pandai dan prigel (luwes) dalam berolah vokal. Pada usia 5 tahun, ia siap menjadi gandrung. Setiap lagu seblang, ia pelajari secara otodidak. Dia berhasil menggantikan peran Drungin, gandrung laki-laki pertama di Banyuwangi. Bukan gandrung Marsan sebagaimana yang sering disebut-sebut di berbagai tulisan. Otodidak dan latihan yang terus menerus dalam diri Semi, membuat ia makin berani dan percaya diri dengan keberadaannya.
Semi muda makin menjadi pandai dan prigel (luwes) dalam berolah vokal. Pada usia 5 tahun, ia siap menjadi gandrung. Setiap lagu seblang, ia pelajari secara otodidak. Dia berhasil menggantikan peran Drungin, gandrung laki-laki pertama di Banyuwangi. Bukan gandrung Marsan sebagaimana yang sering disebut-sebut di berbagai tulisan. Otodidak dan latihan yang terus menerus dalam diri Semi, membuat ia makin berani dan percaya diri dengan keberadaannya.
Setidaknya hanya karena keberanian, nekat, dan ketetapan hati pada diri sehingga ia berusaha menekuni seni gandrung. Beberapa gending seblang sudah Semi hapalkan diantaranya Padha Nonton, Kembang Menur, Kembang gadhung, Seblang-seblang, Ugo-ugo, Ratu Seblang, Jala Sutra, Sukma Ilang, Gelemar-gelemar, Liya-liyu, dan Brang-brang. Seblang yang telah dikenal masyarakat Bakungan sejak tahun 1801 itu telah mengilhami Semi menjadi penari gandrung perempuan di Cungking ketika itu (Sariyono, 2002: 162).
Hari demi hari dilewati Semi dengan lancar dan bersahaja. Kebiasaan menghapal teks yang dilakukan sambil persiapan menjelang tidur itu telah menjadikan gandrung sebagai pilihan profesi bahkan pilihan hidup untuk Semi.
Nuansa keluarga
Semi kini telah benar-benar menjadi gandrung. Hampir sepanjang waktunya digunakan untuk menjatuhkan pilihan pada gendrung. Di pelataran yang berukuran 9 X 7 meter atau kadang-kadang hanya 3 x 4 meter itu mejadi lahan mencurahkan bakat dan kesukaan Semi. Ia telah mampu membawa nama besar Cungking dan Banyuwangi umumnya untuk persoalan perlombaan seni pertunjukan bernama gandrung. Orang tuanya terutama sang Ibu amat mendukung dan mendewasakan Semi menjadi perempuan yang pantas mengangkat martabat dan nama besar orang tua di medan seni.
Semi kini telah benar-benar menjadi gandrung. Hampir sepanjang waktunya digunakan untuk menjatuhkan pilihan pada gendrung. Di pelataran yang berukuran 9 X 7 meter atau kadang-kadang hanya 3 x 4 meter itu mejadi lahan mencurahkan bakat dan kesukaan Semi. Ia telah mampu membawa nama besar Cungking dan Banyuwangi umumnya untuk persoalan perlombaan seni pertunjukan bernama gandrung. Orang tuanya terutama sang Ibu amat mendukung dan mendewasakan Semi menjadi perempuan yang pantas mengangkat martabat dan nama besar orang tua di medan seni.
Pak Midin masih saja rajin menggarap lahan-lahan pertanian di wilayah Cungking yang penuh dengan keindahan itu. Demografi dan lalulintas yang masih sepi menjadikan ia makin konsentrasi bertani dalam kehidupan pedesaan yang kental. Ia pun tetap berharap, agar anak-anaknya bisa memilih jalan hidup yang baik untuk masa depannya. Kakak sulungnya, Midah juga memberi support adik kandungnya untuk pengembaraan keseniwatinya. Bahkan adiknya, Suyati dan Misti menyusulnya ke kawah candradimuka dalam kontestasi gandrung Banyuwangi abad XIX.
Regenerasi Gandrung Semi
Proses alih generasi dari Semi kepada anak-anak gadis desa di Cungking belum bisa membawa hasil maksimal. Akan tetapi, di luar Cungking telah berkembang menjadi seniman-seniman baru yang berawal dari seringnya nonton penampilan Semi. Semi berkeyakinan, bahwa pilihan profesinya telah membuahkan estafet yang berkepanjangan untuk masyarakat Banyuwangi pada umumnya. Dimulai dari keluarga dekat Semi, masyarakat makin mengerti bahwa gandrung akan mampu menjadi obat penawar bagi kejenuhan masyarakat petani pedesaan untuk mengobati kelelahannya. Sebagai kebudayaan rakyat (Folk Culture) gandrung tidak hanya bisa diterima kehadirannya oleh warga, namun lebih dari itu diakui sebagai tarian sakral yang penuh dengan etika moral.
Proses alih generasi dari Semi kepada anak-anak gadis desa di Cungking belum bisa membawa hasil maksimal. Akan tetapi, di luar Cungking telah berkembang menjadi seniman-seniman baru yang berawal dari seringnya nonton penampilan Semi. Semi berkeyakinan, bahwa pilihan profesinya telah membuahkan estafet yang berkepanjangan untuk masyarakat Banyuwangi pada umumnya. Dimulai dari keluarga dekat Semi, masyarakat makin mengerti bahwa gandrung akan mampu menjadi obat penawar bagi kejenuhan masyarakat petani pedesaan untuk mengobati kelelahannya. Sebagai kebudayaan rakyat (Folk Culture) gandrung tidak hanya bisa diterima kehadirannya oleh warga, namun lebih dari itu diakui sebagai tarian sakral yang penuh dengan etika moral.
Walaupun gandrung bukan warisan kebudayaan istana (high culture), namun komunitas ini masih percaya diri akan mampu diterima masyarakat luas. Panari-penari gandrung dari kerandah dekat Semi adalah Suyati, Misti, Sutinah, Suwanah, Sundari, Pikah, Suhaemah, Sudartik, Suprapti, Armulik, Wiwik Sumartini, dan Sumarmi. Dari Suyati sampai Pikah merupakan nakdulur Semi, sedangkan Mulai Suhaemah sampai Sumarmi merupakan cucu-cucu Semi. Dan seterusnya, proses regenerasi gandrung Semi bergerak ke luar dari luar pagar Semi.
Makna Gandrung bagi Semi
Apa yang dilakukan Semi, terus disorot oleh generasi muda Cungking yang lain. Mereka mulai memasuki wilayah gandrung untuk sekadar menghibur diri. Bagi Semi, gandrung adalah olah raga, harapan orang tua, keinginan orang tua, dan bukan mencari nafkah semata. Gandrung berarti tergila-gila, atau bahasa Jawanya Kedanan..Orang akan kedanan ketika membelalakkan matanya pada kecantikan perempuan gandrung. Dalam tafsir sejarahnya, gandrung diartikan sebagai tergila-gila kepada kemerdekaan rakyat banyak dari penjajahan Belanda. Karena masa hidup Semi sebagian umurnya berada di demarkasi kolonial Belanda.
Apa yang dilakukan Semi, terus disorot oleh generasi muda Cungking yang lain. Mereka mulai memasuki wilayah gandrung untuk sekadar menghibur diri. Bagi Semi, gandrung adalah olah raga, harapan orang tua, keinginan orang tua, dan bukan mencari nafkah semata. Gandrung berarti tergila-gila, atau bahasa Jawanya Kedanan..Orang akan kedanan ketika membelalakkan matanya pada kecantikan perempuan gandrung. Dalam tafsir sejarahnya, gandrung diartikan sebagai tergila-gila kepada kemerdekaan rakyat banyak dari penjajahan Belanda. Karena masa hidup Semi sebagian umurnya berada di demarkasi kolonial Belanda.
Setelah hari-harinya dihabiskan untuk menggandrung, Semi pun mengakui lelah dan mengharap agar ada penggantinya yang lebih baik. Munculnya berbagai gandrung muda dari dalam trah Semi, dan dari luar pagar dirasakan olehnya sebagai peristiwa alami yang harus disyukuri. Profesi yang selama ini digeluti dan didukung oleh keluarganya mulai ditinggalkan. Ia merasa sudah harus ada regenerasi. Semi memasuki wilayah baru bernama tukang paes atau perias kemanten cara Using. Hoby baru ini ditekuni dan makin mendapat kepercayaan yang tinggi dari para warga masyarakat Cungking dan sekitarnya. Sampai ada kesan bahwa, setiap ada acara pernikahan kalau mempelai tidak dirias Mbah Semi lebih baik tidak usah dirias.
Kebesaran Semi sebagai juru rias baru rupa-rupanya terbawa oleh popularitas Semi sebagai gandrung Banyuwangi. Bahkan di luar kota Banyuwangi, banyak yang menghadirkan dia hanya sebagai tukang rias. Pekerjaan kewanitaan ini ditekuni Semi hingga beberapa tahun. Karena menguras tenaga yang banyak, profesi tukang rias pun disudahi. Ia melanjutkan sisa umurnya dengan menjadi tokoh paranormal (supranatural) perempuan. Banyak anak asuhnya yang telah menyerap Semi sebagai ahli spiritual. Dan banyak pasiennya yang merata di hampir seantero Banyuwangi. Inilah alih profesi yang dilakukan Semi dengan segala tantangan-tantangannya. Karena itulah Semi adalah perempuan sejati yang tidak sekadar basa-basi.
Gandrung di tengah Globalisasi
Sebagai jawaban atas panggilan jiwa jaman, gandrung masih saja sebagai gandrung. Pada jaman Semi, gandrung dengan kesederhanaan peralatan musiknya, juga sudah diwarnai minuman keras. Tetapi masa itu (kolonialisme Belanda) penggunanya adalah orang kulit kuning yang berambut pirang, celana pendek, dan bersepatu. Siapa lagi kalau bukan Belanda.
Sebagai jawaban atas panggilan jiwa jaman, gandrung masih saja sebagai gandrung. Pada jaman Semi, gandrung dengan kesederhanaan peralatan musiknya, juga sudah diwarnai minuman keras. Tetapi masa itu (kolonialisme Belanda) penggunanya adalah orang kulit kuning yang berambut pirang, celana pendek, dan bersepatu. Siapa lagi kalau bukan Belanda.
Semi juga pernah diundang tampil di acara gelar kesenian di Pendapa Kabupaten. Saat itu Banyuwangi di bawah pemerintahan Bupati Raden Suronegoro (1818-1832). Kebetulan penonton yang mendominasi adalah bangsa kulit kuning. Semi makin memperkuat gerak tariannya agar mendapat pengakuan dari para penguasa asing di bumi Blambangan.
Kebiasaan menggunakan minuman berkadar alkohol, terus ditiru oleh orang-orang pribumi Banyuwangi ketika mendatangi kontestasi gandrung. Bahkan itu berlangsung lebih kuat pada masa-masa cucunya Semi. Lebih hebat lagi di masa globalisasi sekarang ini. Gandrung telah menjadi perlombaan kekayaan antar pendukung seni gandrung. Bahkan dalam perjalanan yang panjang itu, gandrung telah menerima konflik dari berbagai elemen masyarakat, baik kaum abangan, santri, pemerintah, bahkan politisi yang sengaja menciptakan kontaminasi genre gendrung ke dalam wilayahnya.
Pewarisan Yang Berubah
Generasi Semi adalah generasi beda wajah. Apa yang pernah dilakukan Semi bahwa gandrung akan diposisikan sebagai tarian pergaulan, kini telah menjadi tarian kontestasi yang banyak menjadi buah mulut sebagian besar orang. Sebagai kesenian tradisi yang dilahirkan kaum tani pedesaan, gandrung telah mengalami perubahan baik dari segi bentuk, penampilan, maupun muatan nilai.Fenomena gandrung adalah kesenian yang dilahirkan oleh pendatang Jawa Kulonan, akan tetapi nuansa seninya masih menggunakan bentuk seni masyarakat asli Banyuwangi, yaitu etnis using di Bakungan.
Generasi Semi adalah generasi beda wajah. Apa yang pernah dilakukan Semi bahwa gandrung akan diposisikan sebagai tarian pergaulan, kini telah menjadi tarian kontestasi yang banyak menjadi buah mulut sebagian besar orang. Sebagai kesenian tradisi yang dilahirkan kaum tani pedesaan, gandrung telah mengalami perubahan baik dari segi bentuk, penampilan, maupun muatan nilai.Fenomena gandrung adalah kesenian yang dilahirkan oleh pendatang Jawa Kulonan, akan tetapi nuansa seninya masih menggunakan bentuk seni masyarakat asli Banyuwangi, yaitu etnis using di Bakungan.
Apa yang pernah di lakukan oleh Druning sebagai pemain tunggal dalam kesenian gandrung, juga Semi yang mampu bermain seorang diri dengan menyanyi dan menari di pelataran rumah penduduk, ternyata tidak bisa diteruskan modelnya oleh gandrung-gandrung di kemudian hari. Gandrung Semi hanya diwarisi nama gandrungnya, peralatan, dan syairnya saja. Akan tetapi bermain seorang diri tidak bisa diteruskan oleh gandrung Banyuwangi saat ini. Temu dan Asfani, dua perempuan senior penerus Semi pernah menceritakan bahwa pada jaman mudanya ia mampu menyanyi seorang diri tanpa menggunakan pengeras suara, karena suaranya sudah menggelegar dan menerobos ke telinga penonton dari jarak yang terjauh. Ia tidak mengerti, kenapa gandrung masa kini harus dua, tiga, bahkan empat pemain, dan harus diberi sound system untuk mengeraskan suaranya, apakah memang mengikuti jaman atau menurunkan kualitas kesenian gandrung?.
Sumber:
Dimuat di Majalah BENDE No 88 – Februari 2011)
dikbangkes-jatim
Mas Say Laros Pesanggaran
Semi: Peletak Dasar Gandrung Banyuwangi Oleh: Suyanto, M.Si
*) Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan dan studi pustaka, pada saatnya nanti akan menjadi buku berjudul Sejarah Gandrung Banyuwangi
**) Suyanto adalah Magister Kajian Budaya, Staf Pengajar Sastra Indonesia di SMPN 1
RSBI Genteng-Banyuwangi
Dimuat di Majalah BENDE No 88 – Februari 2011)
dikbangkes-jatim
Mas Say Laros Pesanggaran
Semi: Peletak Dasar Gandrung Banyuwangi Oleh: Suyanto, M.Si
*) Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan dan studi pustaka, pada saatnya nanti akan menjadi buku berjudul Sejarah Gandrung Banyuwangi
**) Suyanto adalah Magister Kajian Budaya, Staf Pengajar Sastra Indonesia di SMPN 1
RSBI Genteng-Banyuwangi
Group Fb : Banjoewangie Tempo Doeloe
No comments:
Post a Comment