Berita -berita Kuno Tentang Legenda Dan Sejarah Blambangan
Waktu membicarakan lagenda-lagenda yang menyangkut Probolinggo (Bab XVI-1), telah diketengahkan bahwa Blambangan, sebagai kerajaan yang berada jauh di sebelah timur, mempunyai kedudukan penting dalam cerita tutur Jawa. Menakjingga, raja Blambangan, dalam sastra Jawa telah menjadi terkenal sebagai lawan Damarwulan, tokoh suatu kisah yang sejak abad ke-17 benar-benar menjadi kesayangan rakyat; bagi penelitian sejarah, Damarwulan tidak banyak artinya. Tetapi yang pasti ialah bahwa Kerajaan Blambangan telah mengalami masa-masa perkembangan kekuasaan yang mencolok.
Tempat (mungkin lebih dari satu) di daerah Banyuwangi, yang sebelum zaman Islam merupakan tempat raja-raja Blambangan mendirikan istana, tidak dapat ditunjukkan dengan pasti. Di pelbagai tempat ditemukan peninggalan-peninggalan bangunan tembok. Tetapi banyak di antara bangunan-bangunan itu dahulu milik penguasa-penguasa setempat yang hidup pada abad ke-17 atau ke-18. Dugaan bahwa Semenanjung Blambangan atau Purwa yang sekarang tidak berpenduduk itu menyimpan peninggalan-peninggalan kota keraton suatu kerajaan lama zaman pra- Islam masih harus dikuatkan atau dibuktikan dengan penggalian arkeologi.
Dalam buku-buku cerita abad ke-17 atau ke-18 terdapat suatu cerita tutur tentang asal usul legendaris Raja Menakjingga dari Blambangan. la dikatakan sebagai seorang tokoh yang dilindungi, atau bahkan diciptakan oleh seorang rohaniwan yang tidak beragama islam dari Dataran Tinggi Tengger yang bernama "ajar" Guntur Geni yang telah mematahkan serangan di pantai Jawa Timur; serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuh raja Majapahit dari seberang laut. Penyerang-penyerang itu adalah orang-orang Siyem (Siam), Kaboja (Kamboja), dan Sukadana (Kalimantan). Sebagai imbalan, "ajar" yang gagah berani itu dianugerahi gelar Pamengger beserta wewenang untuk memerintah
Blambangan jauh di sebelah timur. Dari cerita legenda ini dapat disimpulkan bahwa para penulis Jawa abad ke-17 dan ke-18 berkeyakinan bahwa ada hubungan-hubungan lama antara penduduk Dataran Tinggi Tengger yang tidak beragama dan raja-raja Blambangan yang menguasai tanah pedalaman ujung timur Jawa itu. Wilayah penuh pegunungan di sebelah selatan Dataran Tinggi Yang dan Dataran Tinggi Raung juga termasuk daerah mereka.
Blambangan jauh di sebelah timur. Dari cerita legenda ini dapat disimpulkan bahwa para penulis Jawa abad ke-17 dan ke-18 berkeyakinan bahwa ada hubungan-hubungan lama antara penduduk Dataran Tinggi Tengger yang tidak beragama dan raja-raja Blambangan yang menguasai tanah pedalaman ujung timur Jawa itu. Wilayah penuh pegunungan di sebelah selatan Dataran Tinggi Yang dan Dataran Tinggi Raung juga termasuk daerah mereka.
Blambangan, yang masih dahulu belum menganut islam itu, mendapat tempat penting dalam alam pikiran orang Bali dan sastranya. Karena tidak ada tanggal yang dapat dipercaya, sulit sekali menetapkan apakah pengaruh Bali di bidang politik dan kebudayaan di Blambangan, dan pada umumnya di bagian timur dan tengah ujung timur Jawa, sudah ada pada zaman sebelum Islam, pada abad ke-15. Pada abad ke-16, ke-17, dan ke-18 dengan kekerasan senjata raja-raja Bali ikut mencampuri pemerintahan di ujung timur Jawa. Tidak mustahil bahwa campur tangan itu merupakan lanjutan suatu tradisi yang telah berabad-abad usianya.
Pada tahun 1339 M. Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, dalam perjalanan kelilingnya menjelajahi ujung timur Jawa, tidak mengunjungi Blambangan. Di Patukangan - dapat disamakan dengan Panarukan yang sekarang - ia menerima (tanda-tanda) penghormatan penguasa setempat di Madura, Bali, dan Blambangan. Jelas sekali bahwa, seperti orang dari pulau-pulau (Bali dan Madura), orang dari Blambangan juga pergi ke Panarukan lewat laut. Jalan darat lewat lereng-lereng timur dan utara Pegunungan Raung pada waktu dahulu mungkin terlalu berat untuk ditempuh.
Yang masih perlu disebutkan ialah dongeng mitos Sri Tanjung, yang digubah dalam bentuk tembang, yang digolongkan dalam kesusastraan Jawa-Bali. Tembang itu sudah terkenal, baik yang versi Bali maupun yang versi Banyuwangi. Cerita ini mungkin ditulis di daerah Blambangan pada abad ke-16. Legenda setempat tentang ibu kota Banyuwangi menghubungkan nama ini (banyu wangi = air harum) dengan salah satu bagian tembang tersebut. Tidak dapat ditentukan lagi apakah legenda ini sudah sangat tua. Bagaimanapun Sri Tanjung dan - yang sejenis -Suda Mala boleh kita anggap sebagai hasil ciptaan peradaban Kerajaan Blambangan; di sini sampai pada permulaan abad ke-17 islam belum masuk di ujung timur Jawa, dengan bantuan dan mungkin karena pengaruh raja-raja Bali, masih tetap mampu bertahan terhadap desakan para penakluk Jawa-Islam yang datang dari barat. Sumber@Buku Koleksi BTD - KERAJAAN KERAJAAN ISLAM DI JAWA oleh DR. H.J. DE GRAAF
Publisher : Bandar Uyah
No comments:
Post a Comment