Ilustrasi Foto Warung Bathokan dalam Budaya Masyarakat Banyuwangi |
"Tinimbang metu sing karuwan
Bangur nong umah podho dodolan
Mak nong mburi milu adang
Mbok nong njero milu rewang
Bapak nong njobo milu nyawang ..."
Oleh karena itu warung bathokan selalu bersifat temporal,hanya sesaat ketika suatu keluarga tidak berpunya dan menanggung seorang gadis atau janda.Sebab ketika mereka memperoleh jodoh,maka warung bathokan itu kemudian ditutup dan dibongkar.
Perkembangan warung bathokan pernah mecapai puncaknya pada sekitar tahun 1950 sampai 1960-an,bersaraaan dengan perkembangan kesenian gandrung dan Damarwulan.
Pada saat ada keramaian dengan "tanggapan"kesenian tersebut warung bathokan merupakan bagian yang ikut menunjang keramaian tersebut. Mereka berdatangan dari desa-desa tetangga untuk berjualan dan memeriahkan keramaian itu.
Dialog-dialog yang terjadi antara pembeli dan sang gadis atau
sang janda biasanya banyak dilakukan dengan "wangsalan" atau "basanan". Umumnya mereka saling menghormati. Bahkan, pada masa lalu konon warung bathokan ini pernah menjadi "rendezvous" bagi para pejuang,baik pada masa peperangan melawan VOC pada sekitar pertengahan abad XVIII maupun di masa perang kemerdekaan.
Namun sayang, mungkin karena pengaruh kemajuan dari luar, banyak di antara warung bathokan ini yang kemudian dinilai agak negatif. Kiranya patut diketahui bahwa warung bathokan yang ada sekarang sudah banyak yang dikelola bukan oleh gadis atau janda Oseng, tetapi oleh pendatang dari luar daerah.
Sumber : group facebook Banjoewangie Tempo Doeloe
No comments:
Post a Comment